Saturday 30 November 2013

PENDIDIKAN DALAM TRILOGI ILMU PENGETAHUAN

1. Ontologi Pendidikan

      Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat. Yaitu ada manusia, ada alam, dan ada cusa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Atau suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesata ini, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Ontology merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat sudah menunjukan munculnya perenungan dibidang ontology. Yang tertua di segenap filusuf barat yang kita kenal adalah orang yunani yang bijak dan arif yang bernama thales. Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan sesuatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu adalah satu Zat (monoisme) ataukah kekuatan pencipta Dua Zat (Dualisme) atau banyak Zat (Pruralisme). Dan apakah roh, bilamana kekuatan itu besifat kebendaan, paham ini di sebut materialism dan bila bersifat roh, paham ini disebut spiritualisme (serba roh). Memang fiisafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah yang utama yaitu masalah tentang kenyataan, realitas, yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memcahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas, mengontrol pertanyaaan tentang dunia kita ini. Oleh karena itu perhatian kita yang penuh dan dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filisofis utama adalah ontologi, yaitu studi realitas yang tertinggi. Pengetahuan melalui metode ilmiah bagaimanakah kita dapat mengetahui tentang apakah yang dinamakan alam itu. Sekurang-kurangnya seorang penganut naturalisme akan mengatakan bahwa yang dinamakan alam secara sederhana ialah “ apa yang oleh ilmu pengetahuan empiris diterangkan sebagai demikian keadaannya” Alam tersebut dihadapkan kepada kita, dalam perjalanan pengalaman kita sehari-hari, dan kita mempelajarinya dengan metode-metode ilmiah biasa. Yaitu yang dinamakan kenyataan ialah apa yang di sajikan kepada kita oleh ilmu-ilmu alam. Lebih tepat bila kita berfikir bahwa alam merupakan istilah genus yang dapat diterapkan kepada segala hal. Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua sudut pandang. Orang yang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif.

2. Epistimologi Pendidikan

       Epistemolgi berasal dari bahasa yunani “episteme” dan “logos”. “Episteme” aartinya pengetahuan (knowledge), “logos” artinya teori. Dengan demikian epistemology secara epistemologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan tentang nilai ‘kebenaran’ dan otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana ‘cara’ mendapatkannya. Jika diterapkan pada pendidikan berarti yang menjadi persoalan pokoknya adalah pengetahuan yang benar yentang pendidikan atau kebenaran pendidikan, dan sekaligus bagaimana ‘cara’ penyelenggaraannya secara benar. Pemahaman aspek epistemologi pendidikan berfungsi sebgai landasan dasar pengembangan potensi intelektual sehingga pada waktunya dapat membuah kematngan inteelegensia. Kematangan intelegensia ini berposisi sentral dan karenanya juga bernilai guna didalam dan bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Epistemologi ilmu pengetahuan mempersoalkan tentang objek, metode, dan system untuk memperoleh nilai kebenaran. Oleh sebab itu pembahasan epistemologi pendidikan meliputi objek pendidikan, metode dan system penyelenggaraan pendidikan, serta pengetahuan tentang kenaran pendidikan itu sendiri.

3. Aksiologi Pendidikan

       Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan astetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Dalam hal ini aksiologi pendidikan yang berkaitan dengan masalah ilmu dan pengetahuan (kognitio), maksudnya adalah memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan guna dari suatu pendidikan itu sendiri, baik secara umum maupun secara khusus. Dapat diambil dari pemahaman tersebut bahwa filsafat pendidikan mengajak pembaca untuk meninjau aspek kegunaan suatu proses pendidikan. Secara esensial aksiologi pendidikan adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insane kamil yaitu manusia yang kembali pada fitrahnya dan pada tujuan kehidupannya yang sejati. Jelaslah bahwa trilogy ilmu pengetahuan mengajak pembaca melakuakan revitalisasi hakikat sesuatu yang dalam hal ini disiplin ilmu pendidikan.  

Referensi
Salahudin. A. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung. CV Sustaka Setia
http://tyoashter.blogspot.com/2012/04/ontologi-epistemologi-aksologi-filsafat.html
http://antse-tugaskuliah.blogspot.com/2011/12/ontologi-axiologi-dan-epistimologi.html  

Thursday 28 November 2013

Karakteristik Evaluasi Pembelajaran

      Secara sederhana, Zainal Arifin (2011 : 69) mengemukakan karakteristik instrumen evaluasi yang baik adalah “valid, reliabel, relevan, representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan proporsional”.
1. Kevalidan
      Valid artinya suatu alat ukur dapat dikatakan valid jika betul-betul mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur matapelajaran Ilmu Fiqih, maka alat ukur tersebut harus betul-betul dan hanya mengukur kemampuan peserta didik dalam mempelajari Ilmu Fiqih, tidak boleh dicampuradukkan dengan materi pelajaran yang lain. Validitas suatu alat ukur dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity), validitas bandingan (concurent validity), dan validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan lain-lain.

2. Realible
       Reliabel artinya suatu alat ukur dapat dikatakan reliabel atau handal jika ia mempunyai hasil yang taat asas (consistent). Misalnya, suatu alat ukur diberikan kepada sekelompok peserta didik saat ini, kemudian diberikan lagi kepada sekelompok peserta didik yang sama pada saat yang akan datang, dan ternyata hasilnya sama atau mendekati sama, maka dapat dikatakan alat ukur tersebut mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.

3. Relevan
       Relevan artinya alat ukur yang digunakan harus sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Alat ukur juga harus sesuai dengan domain hasil belajar, seperti domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Jangan sampai ingin mengukur domain kognitif menggunakan alat ukur non-tes. Hal ini tentu tidak relevan.

  4. Representatif
         Representatif artinya materi alat ukur harus betul-betul mewakili dari seluruh materi yang disampaikan. Hal ini dapat dilakukan bila guru menggunakan silabus sebagai acuan pemilihan materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi materi, mana materi yang bersifat aplikatif dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak.

5. Praktis
          Praktis artinya mudah digunakan. Jika alat ukur itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar digunakan, berarti tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari pembuat alat ukur (guru), tetapi juga bagi orang lain yang ingin menggunakan alat ukur tersebut.

6. Deskriminatif
           Deskriminatif artinya adalah alat ukur itu harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin baik suatu alat ukur, maka semakin mampu alat ukur tersebut menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui apakah suatu alat ukur cukup deskriminatif atau tidak, biasanya didasarkan atas uji daya pembeda alat ukur tersebut.

7. Spesifik
           Spesifik artinya suatu alat ukur disusun dan digunakan khusus untuk objek yang diukur. Jika alat ukur tersebut menggunakan tes, maka jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi atau spekulasi.

8. Proporsional
            Proporsional artinya suatu alat ukur harus memiliki tingkat kesulitan yang proporsional antara sulit, sedang dan mudah. Begitu juga ketika menentukan jenis alat ukur, baik tes maupun non-tes.

LATAR BELAKANG FILSAFAT PENDIDIKAN

1. Manusia dan Ilmu Pengetahuan

      Sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, manusia diberi oleh Tuhan beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya yaitu akal dan daya nalar. Kemampuan manusia untuk berpikir dan bernalar itu dimungkinkan pada manusia karena ia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu terus berusaha untuk menambah dan mengumpulkan llmu pengetahuannya. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari pengalaman yang didapatkannya (empiris) dan juga logika yang mereka miliki (rasional) dari pengalaman tersebut manusia terus-terusan mengolahnya dengan cara berpikir sehingga menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Manusia yang cerdas akan mampu menggali kumpulan pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola muka bumi ini. Namun, tidak selamanya pengetahuan yang diperoleh manusia ini bermanfaat, ada juga pengetahuan yang ternyata menimbulkan suatu permasalahan. Pengetahuan mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, manusia mempunyai kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran. Kedua hal inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya.

2. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Socrates

   Pada titik waktu ini dalam sejarah filsafat muncullah salah seorang pemikir besar kuno (470-399 SM) yang mana gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diselu¬ruh dunia Barat. Socrates yang dilahirkan di Athena, is adalah putra seorang pemahat dan seorang bidan yang hanya sedikit dikenal kecuali nama mereka, yaitu Sophonicus dan Phaenarete (Smith, 1986: 19). Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah, metode dialektis, yang digunakan oleh Socrates yang mana telah menjadi dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seseorang guru tidak memaksa wibawanya atau memaksa gagasan-gagasan atau pengetahuan kepada seorang siswa, yang mana seorang siswa dituntut untuk mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis, ini adalah suatu metode untuk meneruskan inteleknya dan mengembangkan kebiasaan¬kebiasaannya dan kekuatan mental. Tujuan pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986: 25). Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis ini Socra¬tes menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral menurut pendapatnya adalah cita-cita yang diajarkan oleh para pendiri¬pendiri agama, cita-cita yang melekat pada ketuhanan, cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan keja¬hatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, segala kebajikan¬kebajikan lama. Salah satu pendirian Socrates yang terkenal bahwa kekuatan utar—i adalah pengetahuan. Jadi bagi Socrates yang terkenal, adanva pendidikan sudah membuktikan bahwa keutamaan tidak dapat diajarkan dan pendidikan tidak mungkin dijalankan. Seruan alternatif Socrates ditujukan pada kemampuan manusia untuk berpikir menertibkan, meningkatkan dan mengubah dirinya. Pengetahuan, la menyatakan adalah kebajikan; orang yang sekedar tidak berpura-pura saja terhadap cita-cita teoritis, tetapi sungguh-sungguh mengetahui dan mengerti apa yang benar, karena ia telah mengalami dan menyadari konsekuensi-konsekuensi akan berbuat apa yang benar. Cara mengajar Socrates pada dasarnya disebut dialekta, yang disc¬babkan dalam pengajaran itu dialog memegang peranan penting (Hadiwijono, 1980: 36). Socrates tidak seperti Plato, ia tidak membangun suatu sistem filsafat yang luas, tidak pernah menggali secara mendalam bidang psi¬kologi, emosi, motivasi, kebiasaan dan aspek-aspek dari proses pengetahuan tersebut. Namun demikian la telah membuat suatu permu¬laan yang besar dalam membangun konsepsi-konsepsi dan metode-metode yang lebih luas, lebih sungguh-sungguh dan lebih efek¬tif. Dalam pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.

3. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Aristoteles

      Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berhutang budi padanya karena banyaknya kemajuan dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya Logika, Metafisika, Politik, Ethika, Biologi dan Psikologi. Aristoteles dilahirkan dalam tahun 394 SM di Stagira sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidice yang menonjol disebelah barat Laut Egea. Ayahnya, Nichomachus yang sebagai dokter merawat Amyntas II, raja Macedonia, mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap pada awal mass kanak-kanak dan mungkin kemudian mengajar dalam pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik-teknik pembedahan. Balk ayah maupun ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, akan tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarah dirt kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, ia memer¬lukan dukungan-dukungan perasaan yang lebih tinggi yang diberikan arch yang benar. Aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang mempunyai tujuan untuk kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif (Barnadib, 1994: 72). Aristoteles juga menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebagaimans pada tingkat pendidikan usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-¬fungsi organisms itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu belajar induktif, 'suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi semua anak-anak. Sparta mempunyai suatu sistem sekolah negeri yang wajib bagi putera-puterinya, bagi semua warga negara, tetapi sistem tersebut terdiri dari pendidikan fisik dan latihan militer. Dalam rangka yang lebih tinggi, ia nampak setuju dengan Plato tentang nilai-nilai Matematika, Fisika, Astronomi, dan Filsafat. la me¬nyatakan bahwa putra-putri semua warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan mereka yang sama de¬ngan doktrin Plato tentang keberadaan individual. Disiplin merupakan pal yang essensial untuk mengajarkan para pemuda dan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan hati mereka.

4. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Plato

      Plato adalah murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuh¬nya menyerap ajaran-ajaran pendidikan besar itu, kemudian mengembangkan sistem filsafatnya sendiri secara lengkap. la mendiri¬kan sebuah akademi, suatu pusat untuk studi. Plato, dilahirkan dalam keluarga Aristokrasi yang kaya (mungkin di Athena disekitar tahun 427 SM). Bagi Plato, Pendidikan itu adalah suatu bangsa dengan tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan negara dan perorangan, pendi¬dikan itu memberikan kesempatan kepadanya untuk penampilan kesanggupan diri pribadinya. Bagi negara, dia bertanggung jawab untuk memberikan perkembangan kepada warga negaranya, dapat berlatih, terdidik dan merasakan bahagia dalam menjalankan peranannya buat melaksanakan kehidupan kemasyarakatan (Ali, 1993: 60). Menurut Plato di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Raper, 1988: 110). Dengan demikian jelaslah pula bahwa peranan pendidikan yang paling utama bagi manusia adalah membebaskan dan memperbaharui. Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa mengantarnya ke idea yang tinggi yaitu kebajikan, kebaikan dan kea¬dilan. Cita-cita Plato yang paling agung terus digenggamnya sampai akhir hayatnya. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan ke¬mampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia akan menjadi seorang warga negara yang balk, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai seorang anggota kelasnya. Plato juga menekankan perlunya pendidikan direncanakan dan diprogramkan sebaik-haiknya agar mampu mencapai sasaran yang diidamkan. Dengan kata lain pendidikan yang baik haruslah direncanakan dan diprogramkan dengan baik agar dapat berhasil dengan baik untuk menunjang rencana propaganda dan sensor. Adapun hal yang terlewatkan oleh Plato dalam bidang pendidikan adalah mengenai pendidikan dasar dan pendidi-kan untuk kelas penghasil yang satu-satunya kelas dalam golongan karya yang sebenarnya merupakan golongan terbesar dalam negara. Menurut Plato pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada taruna hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.



Referensi
http://sobat-berbagi.blogspot.com/2012/05/pemikiran-filsafat-pendidikan-menurut.html
http://arwanyusuf.wordpress.com/2009/05/08/pemikiran-filsafat-plato/