Thursday 12 December 2013

Karakteristik, Model dan Pendekatan Evaluasi Pembelajaran

A. Karakteristik Instrumen Evaluasi

     Evaluasi sangat berguna untuk meningkatkan kualitas sistem pembelajaran. Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan kedudukan clan pentingnya evaluasi dalam pembelajaran, baik dilihat dari tujuan clan fungsi evaluasi maupun sistem pembelajaran itu sendiri. Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran, karena keefektifan pembelajaran hanya dapat diketahui melalui evaluasi. Dengan kata lain, melalui evaluasi semua komponen pembelajaran dapat diketahui apakah dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak. Guru dapat mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, baik secara kelompok maupun perseorangan.

1. Evaluasi dan Hasil Langsung
     Dalam proses pembelajaran, guru sering melakukan kegiatan evaluasi, baik ketika proses pembelajaran sedang berlangsung maupun ketika proses pembelajaran sudah selesai. Jika evaluasi diadakan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, maka guru ingin mengetahui keefektifan dan kesesuaian strategi pembelajaran dengan tujuan yang ingin dicapai.

2. Evaluasi dan Transfer
    Hal penting yang berkenaan dengan proses belajar adalah kemungkinan mentransfer hasil yang dipelajari ke dalam situasi yang fungsional. Dasar pemikiran ini merupakan asas psikologis yang logis dan rasional. Peserta didik tidak dapat dikatakan telah menguasai ilmu komputer (misalnya), jika ia belum dapat menggunakannya dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari. Evaluasi Langsung dari Proses Belajar Di samping harus mengetahui hasil belajar, guru juga harus proses belajar. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar diorganisasi sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal. B. Model-Model Evaluasi Pada tahun 1949, Tyler pernah mengembangkan model black box. Setelah itu, belum terlihat ada model lain yang muncul ke permukaan. Lebih kurang 10 tahun lamanya, orang-orang yang melakukan kegiatan evaluasi hanya menggunakan model evaluasi tersebut. Hal ini mungkin disebabkan evaluasi belum menjadi studi tersendiri. 1.Model Tyler Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler. buku Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler mengemukakan ide dan gagasannya tentang evaluasi. Salah satu bahasan dalam buku tersebut diberinya judul how can the effectiveness of learning e. ence be evaluated? Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi , dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). 1. Model yang Berorientasi pada Tujuan Dalam pembelajaran, kita mengenal adanya tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Model evaluasi ini menggunakan kedua tujuan tersebut sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan. Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model ini dianggap lebih praktis karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang logis antara kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran hasil. 3. Model Pengukuran Model pengukuran (measurement model) banyak mengemukakan pemikiran-pemikiran dari R.Thorndike dan R.L.Ebel. Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran. Pengukuran digunakan untuk menentukan kuantitas suatu sifat (atribute) tertentu yang dimiliki oleh objek, orang maupun peristiwa, dalam bentuk unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan, model ini telah diterapkan untuk mengungkap perbedaan-perbedaan individual maupun keiompok dalam hal kemampuan, minat, dan sikap. 1. Model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, and Lee J.Cronbach) Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian (congruence) antara tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi digunakan untuk menyempurnakan sistem bimbingan peserta didik dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukan. Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu perubahan tingkah laku yang diinginkan (intended behaviour) pada akhir kegiatan pendidikan, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Educational System Evalu Ation Model (Daniel L. Stufflebeam,Michael Scriven, Robert E. Stake, dan Malcolm M. Prows) Tokoh model ini, antara lain Daniel L.Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E.Stake, dan Malcolm M.Provus. Menurut model ini, evaluasi berarti membandingkan performance dari berbagai dimensi (tidak hanya dimensi hasil saja) dengan sejumlah criterion, baik yang bersifat mutlak/intern maupun relatif/ekstern. Model alkin Model ini diambil dari nama pengembangnya, yaitu Marvin Alkin ~1969), Menurut Alkin, evaluasi adalah suatu proses untuk meyakinkan keputusan, mengumpulkan informasi, memilih informasi yang tepat, dan menganalisis informasi sehingga dapat disusun laporan bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Model Brinkerkoff a. Fixed vs Emergent Evaluation Design Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. b. Formative vs Summative Evaluation Istilah formatif dan sumatif pertama kali dipopulerkan oleh Michael Scriven. Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan pembelajaran secara E menyeluruh. c. Desain eksperimental dan desain quasi eksperimental vs natural inquiry Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, dom sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur damp. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan program pembelajaran. Dalam desain evaluasi natural-inkuiri, evaluator banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pengamatan dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat Illmunative Model (Malcolm Parlett dan Homilton) Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka (open-ended). Model responsif Sebagimana model illmunative, model ini juga menekankan pada pendekatan kualitatif-terbuka. C. Pendekatan Evaluasi Pendekatan evaluasi merupakan sudut pandang seseorang dalam menelaah atau mempelajari evaluasi. Dilihat dari komponen pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan system. 1. Pendekatan Tradisional Pendekatan ini berorientasi pada praktik evaluasi yang telah berjalan selama ini disekolah yang ditunjukan pada perkembangan aspek intelektual peserta didik. 2. Pendekatan Sistem Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling berhubungan dan ketergantungan. a. Penilaian Acuan Patokan (PAP) Pendekatan ini sering juga disebut penilaian norma absolut. Jika ingin menggunakan pendekatan ini, berarti guru harus membandingkan hasil yang diperoleh peserta didik dengan sebuah patokan atau kriteria yang secara absolut atau mutlak telah ditetapkan oleh guru. b. Penilaian Acuan Norma (PAN) Pendekatan ini membandingkan skor setiap peserta didik dengan teman satu kelasnya. Makna nilai dalam bentuk angka maupun kualifikasi memiliki sifat relatif. Zaenal Arifin.2010.Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  

Saturday 30 November 2013

PENDIDIKAN DALAM TRILOGI ILMU PENGETAHUAN

1. Ontologi Pendidikan

      Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat. Yaitu ada manusia, ada alam, dan ada cusa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Atau suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesata ini, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Ontology merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat sudah menunjukan munculnya perenungan dibidang ontology. Yang tertua di segenap filusuf barat yang kita kenal adalah orang yunani yang bijak dan arif yang bernama thales. Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan sesuatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu adalah satu Zat (monoisme) ataukah kekuatan pencipta Dua Zat (Dualisme) atau banyak Zat (Pruralisme). Dan apakah roh, bilamana kekuatan itu besifat kebendaan, paham ini di sebut materialism dan bila bersifat roh, paham ini disebut spiritualisme (serba roh). Memang fiisafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah yang utama yaitu masalah tentang kenyataan, realitas, yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memcahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas, mengontrol pertanyaaan tentang dunia kita ini. Oleh karena itu perhatian kita yang penuh dan dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filisofis utama adalah ontologi, yaitu studi realitas yang tertinggi. Pengetahuan melalui metode ilmiah bagaimanakah kita dapat mengetahui tentang apakah yang dinamakan alam itu. Sekurang-kurangnya seorang penganut naturalisme akan mengatakan bahwa yang dinamakan alam secara sederhana ialah “ apa yang oleh ilmu pengetahuan empiris diterangkan sebagai demikian keadaannya” Alam tersebut dihadapkan kepada kita, dalam perjalanan pengalaman kita sehari-hari, dan kita mempelajarinya dengan metode-metode ilmiah biasa. Yaitu yang dinamakan kenyataan ialah apa yang di sajikan kepada kita oleh ilmu-ilmu alam. Lebih tepat bila kita berfikir bahwa alam merupakan istilah genus yang dapat diterapkan kepada segala hal. Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua sudut pandang. Orang yang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif.

2. Epistimologi Pendidikan

       Epistemolgi berasal dari bahasa yunani “episteme” dan “logos”. “Episteme” aartinya pengetahuan (knowledge), “logos” artinya teori. Dengan demikian epistemology secara epistemologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan tentang nilai ‘kebenaran’ dan otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana ‘cara’ mendapatkannya. Jika diterapkan pada pendidikan berarti yang menjadi persoalan pokoknya adalah pengetahuan yang benar yentang pendidikan atau kebenaran pendidikan, dan sekaligus bagaimana ‘cara’ penyelenggaraannya secara benar. Pemahaman aspek epistemologi pendidikan berfungsi sebgai landasan dasar pengembangan potensi intelektual sehingga pada waktunya dapat membuah kematngan inteelegensia. Kematangan intelegensia ini berposisi sentral dan karenanya juga bernilai guna didalam dan bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Epistemologi ilmu pengetahuan mempersoalkan tentang objek, metode, dan system untuk memperoleh nilai kebenaran. Oleh sebab itu pembahasan epistemologi pendidikan meliputi objek pendidikan, metode dan system penyelenggaraan pendidikan, serta pengetahuan tentang kenaran pendidikan itu sendiri.

3. Aksiologi Pendidikan

       Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan astetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Dalam hal ini aksiologi pendidikan yang berkaitan dengan masalah ilmu dan pengetahuan (kognitio), maksudnya adalah memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan guna dari suatu pendidikan itu sendiri, baik secara umum maupun secara khusus. Dapat diambil dari pemahaman tersebut bahwa filsafat pendidikan mengajak pembaca untuk meninjau aspek kegunaan suatu proses pendidikan. Secara esensial aksiologi pendidikan adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insane kamil yaitu manusia yang kembali pada fitrahnya dan pada tujuan kehidupannya yang sejati. Jelaslah bahwa trilogy ilmu pengetahuan mengajak pembaca melakuakan revitalisasi hakikat sesuatu yang dalam hal ini disiplin ilmu pendidikan.  

Referensi
Salahudin. A. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung. CV Sustaka Setia
http://tyoashter.blogspot.com/2012/04/ontologi-epistemologi-aksologi-filsafat.html
http://antse-tugaskuliah.blogspot.com/2011/12/ontologi-axiologi-dan-epistimologi.html  

Thursday 28 November 2013

Karakteristik Evaluasi Pembelajaran

      Secara sederhana, Zainal Arifin (2011 : 69) mengemukakan karakteristik instrumen evaluasi yang baik adalah “valid, reliabel, relevan, representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan proporsional”.
1. Kevalidan
      Valid artinya suatu alat ukur dapat dikatakan valid jika betul-betul mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur matapelajaran Ilmu Fiqih, maka alat ukur tersebut harus betul-betul dan hanya mengukur kemampuan peserta didik dalam mempelajari Ilmu Fiqih, tidak boleh dicampuradukkan dengan materi pelajaran yang lain. Validitas suatu alat ukur dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity), validitas bandingan (concurent validity), dan validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan lain-lain.

2. Realible
       Reliabel artinya suatu alat ukur dapat dikatakan reliabel atau handal jika ia mempunyai hasil yang taat asas (consistent). Misalnya, suatu alat ukur diberikan kepada sekelompok peserta didik saat ini, kemudian diberikan lagi kepada sekelompok peserta didik yang sama pada saat yang akan datang, dan ternyata hasilnya sama atau mendekati sama, maka dapat dikatakan alat ukur tersebut mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.

3. Relevan
       Relevan artinya alat ukur yang digunakan harus sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Alat ukur juga harus sesuai dengan domain hasil belajar, seperti domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Jangan sampai ingin mengukur domain kognitif menggunakan alat ukur non-tes. Hal ini tentu tidak relevan.

  4. Representatif
         Representatif artinya materi alat ukur harus betul-betul mewakili dari seluruh materi yang disampaikan. Hal ini dapat dilakukan bila guru menggunakan silabus sebagai acuan pemilihan materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi materi, mana materi yang bersifat aplikatif dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak.

5. Praktis
          Praktis artinya mudah digunakan. Jika alat ukur itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar digunakan, berarti tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari pembuat alat ukur (guru), tetapi juga bagi orang lain yang ingin menggunakan alat ukur tersebut.

6. Deskriminatif
           Deskriminatif artinya adalah alat ukur itu harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin baik suatu alat ukur, maka semakin mampu alat ukur tersebut menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui apakah suatu alat ukur cukup deskriminatif atau tidak, biasanya didasarkan atas uji daya pembeda alat ukur tersebut.

7. Spesifik
           Spesifik artinya suatu alat ukur disusun dan digunakan khusus untuk objek yang diukur. Jika alat ukur tersebut menggunakan tes, maka jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi atau spekulasi.

8. Proporsional
            Proporsional artinya suatu alat ukur harus memiliki tingkat kesulitan yang proporsional antara sulit, sedang dan mudah. Begitu juga ketika menentukan jenis alat ukur, baik tes maupun non-tes.

LATAR BELAKANG FILSAFAT PENDIDIKAN

1. Manusia dan Ilmu Pengetahuan

      Sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, manusia diberi oleh Tuhan beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya yaitu akal dan daya nalar. Kemampuan manusia untuk berpikir dan bernalar itu dimungkinkan pada manusia karena ia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu terus berusaha untuk menambah dan mengumpulkan llmu pengetahuannya. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari pengalaman yang didapatkannya (empiris) dan juga logika yang mereka miliki (rasional) dari pengalaman tersebut manusia terus-terusan mengolahnya dengan cara berpikir sehingga menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Manusia yang cerdas akan mampu menggali kumpulan pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola muka bumi ini. Namun, tidak selamanya pengetahuan yang diperoleh manusia ini bermanfaat, ada juga pengetahuan yang ternyata menimbulkan suatu permasalahan. Pengetahuan mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, manusia mempunyai kemampuan berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran. Kedua hal inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya.

2. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Socrates

   Pada titik waktu ini dalam sejarah filsafat muncullah salah seorang pemikir besar kuno (470-399 SM) yang mana gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diselu¬ruh dunia Barat. Socrates yang dilahirkan di Athena, is adalah putra seorang pemahat dan seorang bidan yang hanya sedikit dikenal kecuali nama mereka, yaitu Sophonicus dan Phaenarete (Smith, 1986: 19). Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah, metode dialektis, yang digunakan oleh Socrates yang mana telah menjadi dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seseorang guru tidak memaksa wibawanya atau memaksa gagasan-gagasan atau pengetahuan kepada seorang siswa, yang mana seorang siswa dituntut untuk mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis, ini adalah suatu metode untuk meneruskan inteleknya dan mengembangkan kebiasaan¬kebiasaannya dan kekuatan mental. Tujuan pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986: 25). Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis ini Socra¬tes menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral menurut pendapatnya adalah cita-cita yang diajarkan oleh para pendiri¬pendiri agama, cita-cita yang melekat pada ketuhanan, cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan keja¬hatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, segala kebajikan¬kebajikan lama. Salah satu pendirian Socrates yang terkenal bahwa kekuatan utar—i adalah pengetahuan. Jadi bagi Socrates yang terkenal, adanva pendidikan sudah membuktikan bahwa keutamaan tidak dapat diajarkan dan pendidikan tidak mungkin dijalankan. Seruan alternatif Socrates ditujukan pada kemampuan manusia untuk berpikir menertibkan, meningkatkan dan mengubah dirinya. Pengetahuan, la menyatakan adalah kebajikan; orang yang sekedar tidak berpura-pura saja terhadap cita-cita teoritis, tetapi sungguh-sungguh mengetahui dan mengerti apa yang benar, karena ia telah mengalami dan menyadari konsekuensi-konsekuensi akan berbuat apa yang benar. Cara mengajar Socrates pada dasarnya disebut dialekta, yang disc¬babkan dalam pengajaran itu dialog memegang peranan penting (Hadiwijono, 1980: 36). Socrates tidak seperti Plato, ia tidak membangun suatu sistem filsafat yang luas, tidak pernah menggali secara mendalam bidang psi¬kologi, emosi, motivasi, kebiasaan dan aspek-aspek dari proses pengetahuan tersebut. Namun demikian la telah membuat suatu permu¬laan yang besar dalam membangun konsepsi-konsepsi dan metode-metode yang lebih luas, lebih sungguh-sungguh dan lebih efek¬tif. Dalam pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.

3. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Aristoteles

      Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berhutang budi padanya karena banyaknya kemajuan dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya Logika, Metafisika, Politik, Ethika, Biologi dan Psikologi. Aristoteles dilahirkan dalam tahun 394 SM di Stagira sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidice yang menonjol disebelah barat Laut Egea. Ayahnya, Nichomachus yang sebagai dokter merawat Amyntas II, raja Macedonia, mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap pada awal mass kanak-kanak dan mungkin kemudian mengajar dalam pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik-teknik pembedahan. Balk ayah maupun ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, akan tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarah dirt kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, ia memer¬lukan dukungan-dukungan perasaan yang lebih tinggi yang diberikan arch yang benar. Aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang mempunyai tujuan untuk kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif (Barnadib, 1994: 72). Aristoteles juga menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebagaimans pada tingkat pendidikan usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-¬fungsi organisms itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu belajar induktif, 'suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi semua anak-anak. Sparta mempunyai suatu sistem sekolah negeri yang wajib bagi putera-puterinya, bagi semua warga negara, tetapi sistem tersebut terdiri dari pendidikan fisik dan latihan militer. Dalam rangka yang lebih tinggi, ia nampak setuju dengan Plato tentang nilai-nilai Matematika, Fisika, Astronomi, dan Filsafat. la me¬nyatakan bahwa putra-putri semua warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan mereka yang sama de¬ngan doktrin Plato tentang keberadaan individual. Disiplin merupakan pal yang essensial untuk mengajarkan para pemuda dan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan hati mereka.

4. Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Plato

      Plato adalah murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuh¬nya menyerap ajaran-ajaran pendidikan besar itu, kemudian mengembangkan sistem filsafatnya sendiri secara lengkap. la mendiri¬kan sebuah akademi, suatu pusat untuk studi. Plato, dilahirkan dalam keluarga Aristokrasi yang kaya (mungkin di Athena disekitar tahun 427 SM). Bagi Plato, Pendidikan itu adalah suatu bangsa dengan tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan negara dan perorangan, pendi¬dikan itu memberikan kesempatan kepadanya untuk penampilan kesanggupan diri pribadinya. Bagi negara, dia bertanggung jawab untuk memberikan perkembangan kepada warga negaranya, dapat berlatih, terdidik dan merasakan bahagia dalam menjalankan peranannya buat melaksanakan kehidupan kemasyarakatan (Ali, 1993: 60). Menurut Plato di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Raper, 1988: 110). Dengan demikian jelaslah pula bahwa peranan pendidikan yang paling utama bagi manusia adalah membebaskan dan memperbaharui. Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa mengantarnya ke idea yang tinggi yaitu kebajikan, kebaikan dan kea¬dilan. Cita-cita Plato yang paling agung terus digenggamnya sampai akhir hayatnya. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan ke¬mampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia akan menjadi seorang warga negara yang balk, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai seorang anggota kelasnya. Plato juga menekankan perlunya pendidikan direncanakan dan diprogramkan sebaik-haiknya agar mampu mencapai sasaran yang diidamkan. Dengan kata lain pendidikan yang baik haruslah direncanakan dan diprogramkan dengan baik agar dapat berhasil dengan baik untuk menunjang rencana propaganda dan sensor. Adapun hal yang terlewatkan oleh Plato dalam bidang pendidikan adalah mengenai pendidikan dasar dan pendidi-kan untuk kelas penghasil yang satu-satunya kelas dalam golongan karya yang sebenarnya merupakan golongan terbesar dalam negara. Menurut Plato pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada taruna hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.



Referensi
http://sobat-berbagi.blogspot.com/2012/05/pemikiran-filsafat-pendidikan-menurut.html
http://arwanyusuf.wordpress.com/2009/05/08/pemikiran-filsafat-plato/  

Thursday 31 October 2013

Pendekatan Evaluasi Pembelajaran

Pendekatan-Pendekatan Evaluasi Pembelajaran

   Pendekatan evaluasi merupakan sudut pandang seseorang dalam menelaah atau mempelajari evaluasi. Dilihat dari komponen pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan system.

1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini berorientasi pada praktik evaluasi yang telah berjalan selama ini disekolah yang ditunjukan pada perkembangan aspek intelektual peserta didik.

2. Pendekatan Sistem
Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling berhubungan dan ketergantungan.

a. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Pendekatan ini sering juga disebut penilaian norma absolut. Jika ingin menggunakan pendekatan ini, berarti guru harus membandingkan hasil yang diperoleh peserta didik dengan sebuah patokan atau kriteria yang secara absolut atau mutlak telah ditetapkan oleh guru.
b. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Pendekatan ini membandingkan skor setiap peserta didik dengan teman satu kelasnya. Makna nilai dalam bentuk angka maupun kualifikasi memiliki sifat relatif.  

Model Evaluasi Pembelajaran

Model Evaluasi Pembelajaran

Dalam studi tentang evaluasi banyak sekali dijumpai model-model evaluasi dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model ada juga yang sama. Misalnya saja, Said Hamid Hasan (2009) mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut :

1. Model evaluasi kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut:
a. Model Black Box Tyler Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar. Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2. Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum. 3. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya. Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler.
     Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum. Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.

b. Model Teoritik Taylor dan Maguire Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator. Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar. Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2. Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
3. Penafsiran tujuan kurikulum Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4. Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.

c. Model Pendekatan Sistem Alkin Adapun model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan. Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1. Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2. System luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran system (persekolahan)
3. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.
4. Factor masukan mempengaruhi aktifitas factor perantara dan pada gilirannya factor perantara berpegaruh terhadap factor keluaran.
    Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya. kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam focus kajian yaitu yang hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.

d. Model Countenance Stake Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
1. Matrik Deskripsi Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2. Matrik Pertimbangan Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.

e. Model CIPP Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi Context Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
2. Evaluasi Input Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.
3. Process Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
4. Product Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).

f. Model Ekonomi Mikro Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness. Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.

2. Model evaluasi kualitatif
Adapun model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai focus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a. Model studi kasus Adapun model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Dan dalam menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi. Familirialisasi ada dua jenis. Pertama, familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi. Setelah familiarilisasi evaluator bisa melanjutkan pada observasi lapangan dengan baik. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang sangat dianjurkan dalam model studi kasus. Dengan observasi memungkinkan evaluator menangkap suasana yang terjadi secara langsung ketika proses yang diobservasi sedang berlangsung. Adapun ketentuan bagi evaluator ketika menggunakan observasi adalah pertama, haruslah evaluator seorang yang memiliki visi dan pengetahuan luas mengenai focus observasi. Kedua, kecepatan berfikir, hal ini penting karena evaluator berfungsi sebagai instrument yang selalu terbuka untuk refocusing ataupun membuka dimensi baru dari masalah yang sedang diamati. Ketiga, evaluator harus cermat dalam menangkap informasi yang diterimanya. Kecermatan ini ditandai oleh tiga hal. Pertama, informasi tertulis sebagaimana yang disampaiakn oleh responden, pemkanaan informasi, dan keterkaitan informasi dengan konteks yang lebih luas. Selain observasi, pengumpulan data dapat dilakukan dengan kuisioner dan wawancara. Setelah data selesai dikumpulkan maka pengolahan data langsung dilakukan, sebaiknya ketika masih dilapangan. Hal ini memudahkan evaluator apabila ada persoalan baru masih memiliki kesempatan untuk menelusuri secara langsung. Selain itu juga efisiensi waktu. Dari pengolahan data ini dilakukan dengan tindakan evaluator yaitu mengklasifikasi data dan segera membuat laporan hasil evaluasi.
b. Model Iluminatif Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1. System intruksi System intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system instruksi.
2. Lingkungan belajar Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
b. Inkuiri lanjutan Dalam tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Usahan penjelasan Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut. Disamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif.

c. Model Responsif Model responsif sangat menekankan terutama sekali pada kedudukan-kedudukan, pertanyaan-pertanyaan, dan masalah-masalah yang ditemui oleh perhatian para pendengar yang berbeda oleh di bawah program evaluasi. Menurut Scriven (1978), Guba dan Lincoln (1981), model evaluasi responsif memungkinkan mengambil dua orientasi mayor (utama) [yang mana saling melengkapi satu sama lain (Guba dan Lincoln, 1981)], yaitu:
1. Pembatasan terhadap kegunaan atau manfaat yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi.
2. Pembatasan terhadap nila-nilai yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi.  

Karakteristik Evaluasi Pembelajaran

A. Karakteristik Evaluasi Pembelajaran

Secara sederhana, Zainal Arifin (2011 : 69) mengemukakan karakteristik instrumen evaluasi yang baik adalah “valid, reliabel, relevan, representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan proporsional”.

1. Kevalidan
Valid artinya suatu alat ukur dapat dikatakan valid jika betul-betul mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur matapelajaran Ilmu Fiqih, maka alat ukur tersebut harus betul-betul dan hanya mengukur kemampuan peserta didik dalam mempelajari Ilmu Fiqih, tidak boleh dicampuradukkan dengan materi pelajaran yang lain. Validitas suatu alat ukur dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity), validitas bandingan (concurent validity), dan validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan lain-lain.

2. Realible
Reliabel artinya suatu alat ukur dapat dikatakan reliabel atau handal jika ia mempunyai hasil yang taat asas (consistent). Misalnya, suatu alat ukur diberikan kepada sekelompok peserta didik saat ini, kemudian diberikan lagi kepada sekelompok peserta didik yang sama pada saat yang akan datang, dan ternyata hasilnya sama atau mendekati sama, maka dapat dikatakan alat ukur tersebut mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.

3. Relevan
Relevan artinya alat ukur yang digunakan harus sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Alat ukur juga harus sesuai dengan domain hasil belajar, seperti domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Jangan sampai ingin mengukur domain kognitif menggunakan alat ukur non-tes. Hal ini tentu tidak relevan.

4. Representatif
Representatif artinya materi alat ukur harus betul-betul mewakili dari seluruh materi yang disampaikan. Hal ini dapat dilakukan bila guru menggunakan silabus sebagai acuan pemilihan materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi materi, mana materi yang bersifat aplikatif dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak.

5. Praktis
Praktis artinya mudah digunakan. Jika alat ukur itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar digunakan, berarti tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari pembuat alat ukur (guru), tetapi juga bagi orang lain yang ingin menggunakan alat ukur tersebut.

6. Deskriminatif
Deskriminatif artinya adalah alat ukur itu harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin baik suatu alat ukur, maka semakin mampu alat ukur tersebut menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui apakah suatu alat ukur cukup deskriminatif atau tidak, biasanya didasarkan atas uji daya pembeda alat ukur tersebut.

7. Spesifik
Spesifik artinya suatu alat ukur disusun dan digunakan khusus untuk objek yang diukur. Jika alat ukur tersebut menggunakan tes, maka jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi atau spekulasi.

8. Proporsional
Proporsional artinya suatu alat ukur harus memiliki tingkat kesulitan yang proporsional antara sulit, sedang dan mudah. Begitu juga ketika menentukan jenis alat ukur, baik tes maupun non-tes.

Wednesday 31 July 2013

Pengertian dan ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

1.    Pengertian Filsafat

Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philos berarti suka, cinta, atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. secara sederhana, filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan. Filasafat adalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana. 

Dengan demikian Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Atau Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.



2.    Pengertian Filsafat Pendidikan

Kata pendidikan berasal dari kata didik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Filsafat pendidikan adalah suatu aktivitas yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Dengan demikian Filsafat pendidikan adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. 



3.    Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Menurut Jalaludin & Idi (2007: 24) secara mikro yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:

1.      Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education).

2.      Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man).

3.      Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.

4.      Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan.

5.      Merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).

6.      Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.

Dengan demikian, dari uraian di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.



Referensi



Teori Pendidikan Menurut Jean Piaget

A.  Teori Pendidikan Menurut Jean Piaget

Teori pendidikan yang dikemukakan oleh Jean Piaget adalah teori pendidikan kognitivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir. Oleh karena itu dalam aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri.karena menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks. Jadi, menurut teori kognitivisme pendidikan dihasilkan dari proses berpikir.

B.  Konsep dan Teori Jean Piaget

Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu:
1.      Intelegensi
intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensiomotor diarahkan.
2.      Organisasi
Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem yang lebih tinggi.
3.      Skema
Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
4.      Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
5.      Akomodasi
Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada.
6.      Ekuilibrasi
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Piaget mengidentifikasi 4 (empat) tahapan utama perkembangan kognitif:

1.    Tahap Sensorimotor (lahir – 2 tahun)
Perkembangan kognitif bayi sampai kira-kira berusia 2 tahun pada umumnya mengandalkan observasi dari panca indera dan gerakan tubuh mereka.
2.    Tahap Pra-operasional (2 – 7 tahun)
Pra-operasional ditandai oleh adanya pemakaian kata-kata lebih awal dan memanipulasi simbol-simbol yang menggambarkan objek atau benda dan keterikatan atau hubungan di antara mereka.
3.    Tahap Concrete Operational (6 atau 7 th  – 12 tahun)
Konkrit operasional anak mengenal bahwa ada hubungan antara angka-angka dan bahwa operasi dapat dilaksanakan menurut aturan tertentu. Pada tahap ini anak menunjukkan permulaan dari kapasitas logika orang-orang dewasa.
4.    Tahap Formal Operational ( 12 tahun ke atas)
Tingkat operasi formal merupakan tahapan terakhir dari skema Piaget, yang merupakan tingkatan dari kedewasaan kognitif. Tugas utama pada tahap ini meliputi kemampuan klasifikasi, berpikir logis, dan kemampuan hipotetis.

C.  Implementasi Teori Piaget dalam Pendidikan

Beberapa pemikiran piaget yang dapat diterapkan untuk mendidik anak:
1.    Gunakan pendekatan konstruktif
Anak-anak dapat belajar dengan baik jika mereka aktif dan mencari solusi secara mandiri. Dalam pembelajaran, siswa akan belajar dengan baik dengan melakukan eksperimen dan berdiskusi, dari pada hanya mendengarkan ceramah atau menghafalkan materi.

2.    Melakukan pembelajaran fasilitatif
Guru efektif dapat mendesain situasi-situasi yang mengembangkan penalaran sekaligus kreativitas siswa. Guru mendengarkan, memperhatikan, dan member pertanyaan kepada siswa untuk membantu mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik

3.    Pertimbangkan pengetahuan anak dan tingkat pemikiran mereka
Mereka memiliki banyak pemahaman tentang dunia fisik dan alam. Mereka memiliki konsep-konsep tentang ruang, waktu, kuantitas, dan sebab akibat. Guru perlu menerjemahkan apa yang dikatakan siswanya dan merespon dengan tidak terlalu jauh dari tingkat pemikiran mereka.

4.    Gunakan penilaian berkesinambungan
Penilaian tidak hanya dilakukan menggunakan tes-tes yang terstandar, tapi juga memperhatikan portofolio siswa. Pekerjaan atau tugas-tugas yang belum selesai maupun yang sudah lengkap.

5.    Tingkatkan kesehatan intelektual anak
Pembelajaran seharusnya berjalan alamiah, anak-anak jangan dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini dalam perkembangan mereka sebelum mereka siap dan matang.

6.    Ubahlah ruang kelas menjadi ruang untuk eksplorasi dan penemuan
Pada tingkatan sekolah dasar kelas satu dan dua, guru dapat melakukan eksplorasi dan penemuan. Ruang kelas di-setting dengan struktur yang berbeda dari kelas pada umumnya. Guru mengobservasi minat siswa dan partisipasi alami mereka serta aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam pembelajaran.

Expression of Thanking

Thanking ( berterima kasih )

- Thank's
- Thank you very much

Response :
You're welcome

A : Would you like a little more tea?
B : Yes, please.
A : Please have another piece of cake.
B : Thank you. Uhm, Jane, I heard you were ill so I brought you some fruit.
A : Thanks, Bill.
B : You’re welcome. By the way, this is for you, Mary.
A : For me? Really? Thank you, Bill. Oh, a book! How nice of you! Thanks a lot.
B : Don’t mention it, Mary. I’m very glad you like it.
A : Well, how about another piece of cake?
B : No, thanks. It’s delicious, but I’ve had plenty.

Expression of Admiration

Expression of Admiration ( menyatakan kekaguman )

- What a beautiful girl, she is!          = alangkah cantiknya gadis itu
- What a clever boy, he is!              = alangkah pandainya anak itu
- What a difficult exercise, it is!       = alangkah sulitnya test itu
- What a comfortable bus, it is!      = alangkah nyamannya bus itu

DIALOGUE

Michelle and Michael were having dinner at the restaurant near the beach.
Michelle: Wow, what a beautiful scenery it is!
Michael: Yes, you right. How romantic place it is! Is not it?
Michelle: Yes, it is. You're absolutely right Michael! It is a great place with wonderful beach!
Michael: Hha ... how excited were you tell it! Yes, indeed. No wonder many people who come here. Is not                 it?
Michelle: Yeah, right. By the way, are you hungry?
Michael: Yes, absolutely right.
Michelle: Well, then, will I order food for you.
Michael: Ok, thanks.

Expression of Agreement and disagreement

Expression of Agreement ( menyatakan persetujuan )

- I agree with you                          = saya setuju dengan kamu
- I love it / I'd love too                   = saya suka
- That's good idea                         = ide yang bagus
- You're right                                = kamu benar
- I think so                                   = saya kira begitu


Expression of disagreement ( menyatakan ketidaksetujuan )

- I don't agree with you                 = saya tidak setuju dengan kamu
- I disagree with you                     = saya tidak setuju dengan kamu
- That's wrong                              = itu salah
- I don't think so                           = saya kira yidak begitu 

Aneka Warna Manusia dengan Sistem Kekerabatan

A. Etnografi dan Masalah Aneka Warna Manusia

Menurut pendapat Spradley (1980: 3) bahwa “etnografi adalah pekerjaan menggambarkan kebudayaan”. Sradley (1975: 69) mengemukakan kembali bahwa tujuan pendekatan etnografi adalah: Menemukan makna yang tersembunyi yang terletak dibelakang perilaku dan pengetahuan yang digunakan untuk menghasilkan dan menginterpretasikan perilaku. Tujuan utama dari etnografi adalah untuk memahami cara – cara kehidupan lain dari sudut pandang masyarakat. Membuat suatu etnografi tidak saja berarti kita mempelajari suatu masyarakat, etnografi berarti belajar dari masyarakat. Klasifikasi dari aneka-warna ciri tubuh manusia dalam hubungannya dengan sejarah persebarannya dimuka, dilakukan oleh seorang dokter bernama J.C Prichard (1786-1848) ia menghubungkan data etnografi mengenai ciri-ciri fisik dengan data etnografi mengenai kebudayaan berbagai bangsa yang tersebar didunia. Suatu teori yang menyatakan bahwa perubahan cara hidup, artinya perubahan kebudayaan, juga merupakan salah satu sebab dari perubahan ciri fisik manusia dikembangkannya dalam dua buah buku ytang berjudul Research into the Physical History of man (1813) dan the natural History of man.

B. Sistem Kekerabatan

1. Prinsip Keturunan Tata hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip–prinsip keturunan yang ragamnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

 a. Prinsip Patrilineal Hubungan kekerabatan berdasarkan pada garis pria atau kekerabatan ayah saja, sedangkan kerabat ibu tidak diperhitungkan. Contoh: masyarakat Batak.

b. Prinsip Matrilineal Hubungan kekerabatan bersdasarkan pada garis wanita atau kerabat ibu saja, sedangkan kerabat bapak tidak diperhitungkan. Contoh: masyarakat Minangkabau.

c. Prinsip Bilineal Hubungan kekerabatan berdasarkan pada garis pria untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu dan melalui garis wanita untuk sejumlah hak dan kewajiban lainnya. Contoh; masyarakat Umbundu di angola, Afrika Barat dimana urusan pemeliharaan ternak dan harta warisan berupa ternak diatur melalui garis ayah sememntara urusan pertanian dan tanah diatur melalui garis ibu.

d. Prinsip Bilateral Hubungan kekerabatan berdasarkan pada garis pria maupun wanita. Karena dalam kehidupan bermasyarakat individu tidak bisa berhubungan dengan semua kerabat biologisnya, maka dalam Prinsip Bilateral dikenal beberapa prinsip tambahan.

e. Prinsip Ambilineal Hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat diperhitungkan menurut garis pria dan untuk sebagian orang lainnya menurut garis wanita. Contoh masyarakat Dayak Iban Ulu Ai.

2. Kelompok Kekerabatan

a. Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak.
b. Keluarga Luas (extended family) Terdiri dari beberapa keluarga inti yang menjalin hubungan keluarga yang arat dan tinggal bersama pada suatu rumah atau pekarangan.
c. Kindred Merupakan kesatuan kekerabatan yang menjadi aktif bila ada peristiwa seperti pertemuan, upacara, pesta, kegiatan lainnya.
d. Keluarga Ambilineal Kecil Merupakan kelompok kekerabatan yang berkoporasi, dimana keluarga yang tergabung di dalamnya dapat menikmati harta produktif secara bersama.
e. Keluarga Ambilineal Besar Terdiri dari tiga atau empat generasi, dimana warga satu dengan lainnya tidak selalu saling mengenal.
f. Klen Kecil Terdiri dari gabungan keluarga luas yang merasa berasal dari nenek moyang, baik menurut garis pria maupun wanita
g. Klen Besar Kelompok kekerabatatan yang terdiri dari semua keturunan nenek moyang yang sama yang diperhitungkan melalui garis pria maupun wanita.
h. Fratri Kelompok kekerabatan patrilineal atau matrilineal yang bersifat lokal dan merupakan gabungan dari kelompok klen setempat.
i. Paroh Masyarakat (moiety) Kelompok kekerabatan gabungan klen – klen kecil atau bagian lokal dari klen besar yang mempunyai fungsi politis untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat.  

Expression of certainly and uncertainly

Expression of certaibly ( mengekspressikan keyakinan )

- I am sure                       = saya yakin
- I am certain                   = saya yakin
- I don't doubt                 = saya tidak ragu
- I amn't doubtful             = saya tidak ragu

Expression of uncertainly ( ketidakyakinan)

- I amn't sure                   = saya tidak yakin
- I amn't certain               = saya tidak yakin
- I doubt                         = saya ragu
- I am doubtful                = saya ragu
- I haven't decided whether to......................... or not. saya belum memutuskan untuk......................

Dialogue about expressing certainly and uncertainly

Tia : Oh my God, where is my wallet?
Rio : Are you okay?
Tia : I don't know. I think my wallet is lost.
Rio : Are you certain about it?
Tia : Definitely.
Rio : Don't worry. Let me help you to look for your wallet.
Tia : Oh.. Thank you so much, you're really my best friend.
Rio : you're welcome. By the way, where is the last place that you think your wallet already lost?
Tia : hmm, may be in the park.
Rio : Are you certain, your wallet is lost in the street to park?
Tia : I am uncertainty. I think it was lost in the grasses at park.
Rio : Are you sure?
Tia : I am pretty certain.
Tia : okay, let's search my wallet together.