Rogers
(Fairuzabadi, 2010) menyatakan bahwa, Pendekatan Student Centered Learning merupakan hasil dari transisis perpidahan
kekuatan dalam proses pembelajaran, dari kekuatan dosen sebagai pakar menjadi
kekuatan mahasiswa sebagai pembelajar. Perubahan ini terjadi setelah banyak
harapan untuk memodifikasi atmosfer pembelajaran yang menyebabkan siswa menjadi
pasif, bosan dan resisten. Harden dan Crosby (Fairuzabadi, 2010) mengemukakan
bahwa “SCL menekankan pada Mahasiswa sebagai pembelajar dan apa yang dilakukan
siswa untuk sukses dalam belajar dibanding dengan apa yang dilakukan oleh
guru”. Dari berbagai
definisi tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan Student Centered Learning
(SCL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai
pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda dari model belajar
Instructor-Centered Learning yang menekankan pada transfer pengetahuan dari
guru ke murid yang relatif bersikap pasif.
Dalam
menerapkan konsep Student-Centered Leaning, peserta didik diharapkan sebagai
peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan
berinitiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber
informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan
pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Landasan
teori SCL adalah teori konstruksivistik yang berasal dari teori belajar menurut
Piaget (1983), Jhon Dewei (1933) dan Burner (1961) yang menekankan proses
pembelajaran pada perubahan tingkah laku peserta didik itu sendiri dan
mengalami langsung bagaimana membentuk konsep belajar dan memahami.
SCL
adalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
1. Peserta
didik belajar secara individu maupun kelompok untuk membangun pengetahuan
dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang
dibutuhkan secara aktif tidak hanya asal menerima pengetahuan secara pasif.
2. Pendidik
atau guru membantu peserta didik mengakses informasi, menata dan mentransfernya
guna menemukan solusi terhadap permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Peserta
didik tidak hanya kompeten dalam bidang ilmu yang diterimanya tetapi juga
kompeten dalam belajar. Dengan kata lain peserta didik tidak hanya menguasai
mata pelajaran tetapi mereka juga mampu untuk belajar bagaimana belajar (how to
learn).
4. Belajar
di maknai sebagai belajar sepanjang hayat, suatu ketrampilan dalam dunia kerja
5. Belajar
termasuk di dalamnya adalah memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik
berfungsi sebagai sumber informasi pembelajaran maupaun sebagai alat
memberdayakan peserta didik dalam mencapai ketrampilan yang utuh secara
intelektual, emosional dan psikomotorik yang dibutuhkan.
Guru-guru yang
menggunakan pembelajaran yang berpusat pada siswa cenderung menciptakan
lingkungan pembelajaran dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suasana
kelas yang hangat, mendukung
Dalam
susana ini, guru mengijinkan siswa untuk mengenalnya dan selanjutnya akan
menyukainya. Kalau guru disukai oleh siswa, maka siswaakan bersedia bekerja
keras untuk orang yang disukainya.
2. Siswa
diminta untuk hanya mengerjakan pekerjaan yang bermanfaat
Guru
harus menjelaskan manfaat apa yang akan diperoleh siswa jika mereka mengerjakan
apa yang diminta oleh guru. Informasi ini akan menjadi berguna jika secara
langsung dikaitkan dengan ketrampilan hidup yang diperlukan siswa, sehingga
siswa terdorong untuk melakukannya dan guru meyakini bahwa hal itu sungguh
bermanfaat atau diperlukan oleh siswa ketika mereka nanti menjadi mahasiswa.
3. Siswa
selalu diminta untuk mengerjakan yang terbaik yang mereka dapat lakukan
Kondisi kualitas pekerjaan termasuk didalamnya
adalah pengetahuan siswa tentang gurunya dan apa yang diharapkannya serta
keyakinannya bahwa guru memberikan kepedulian untuk membantunya, keyakinan
bahwa tugas yang diberikan guru itu selalu bermanfaat, keinginan yang kuat
untuk berusaha dengan sekuatnya untuk mengerjakan tugasnya sebaik-baiknya, dan
mengetahui bagaimana pekerjaannya itu akan dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya.
4. Siswa
diminta untuk mengevaluasi pekerjaannya
Evaluasi diri
diperlukan untuk menilai kualitas pekerjaan yang telah dilakukan oleh para
siswa, semua siswa harus mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan dievaluasi,
berdasarkan hasil eveluasi itulah siswa tahu bagaimana kualitas pekerjaannya
dapat ditingkatkan serta dapat mengulangi prosesnya sampai kualitas terbaik
dapat dicapai.
5. Kualitas
pekerjaan yang baik selalu menimbulkan perasaan senang
Para
siswa merasa senang ketika mereka menghasilkan pekerjaan yang berkualitas baik,
dan demikian pula dengan orangtuanya serta gurunya. Perasaan senang ini juga
merupakan insentif untuk meningkatkan kualitas.
6. Pekerjaan
yang berkualitas tidak pernah destruktif
Pekerjaan
yang berkualitas tidak pernah dicapai melalui pekerjaan yang merusak seperti
misalnya menggunakan Narkoba (meskipun kadang dirasa menimbulkan rasa senang)
atau menyakiti orang lain, merusak lingkungan, dsb.
0 komentar:
Post a Comment